APA ITU RABU ABU? Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita.

Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya, dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu. (Yunus 3:6). Dan ketika Ester menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu (Ester 4C:13). Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata: "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".

Abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Setelah Pembacaan Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh gereja menjadi benda sakramentali.

Dalam upacara kuno, orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu, Uskup memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja, sama seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatannya. Mereka tidak diperkenankan masuk gereja sampai Hari Kamis Putih setelah mereka memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat puluh hari dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua umat, baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi, bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.

Sekarang semua umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai tanda untuk mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian dunia, dan tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita. 
 

Berikut adalah ringkasan Peraturan Puasa dan Pantang yang mengacu pada Surat Gembala Prapaska 2011:

1. Hari Puasa 2011 ini dilangsungkan pada hari Rabu Abu, 9 Maret dan Jumat Agung, 22 April. Hari pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan 7 Jumat selama masa Prapaskah sampai dengan Jumat Agung.
 
2. Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berumur 18 sampai awal tahun ke-60. Yang wajib berpantang oalah semua orang Katolik yang berumur genap 14 tahun ke atas.
 
3. Puasa dalam arti yuridis, berarti makan kenyang hanya sekali sehari. Pantang berarti memilih tidak makan daging atau ikan atau garam atau tidak jajan atau merokok. Karena peraturan puasa dan pantang cukup ringan, maka dianjurkan, agar secara pribadi atau bersama-sama, misalnya oleh seluruh keluarga, atau seluruh lingkungan, atau seluruh wilayah, ditetapkan cara dan puasa dan pantang lebih berat, yang dirasakan lebih sesuai dengan semangat tobat dan matiraga yang ingin dinyatakan. Ketetapan yang dibuat sendiri tidak mengikat dengan sanksi dosa.

4. Bila ada perkawinan yang karena alasan yang bisa dipertanggungjawabkan dilangsungkan dalam masa Prapaskah, atau pada hari lain yang diliputi suasana tobat, pastor paroki hendaknya mengingatkan para mempelai agar mengindahkan suasana tobat itu, misalnya, dengan tidak mengadakan pesta besar (Upacara Perkawinan, Komisi Liturgi 1076, hal. 14). Ini ditempuh untuk mengurangi kemungkinan munculnya batu sandungan.

5. Salah satu ungkapan tobat bersama dalam masa Prapaskah ialah Aksi Puasa Pembangunan (APP), yang diharapkan mempunyai nilai dan dampak pembaharuan pribadi, serta mempunyai nilai dan dampak peningkatan solidaritas pada tingkat paroki, keuskupan dan nasional. 

0 komentar:


Post a Comment

Followers